Strategi Bahasa Indonesia Setelah Sumpah Pemuda 1928

Dapat sumber cerita ini dari koran Republika. Dalam bentuk halaman daring. Walau dari media berita, tampaknya ini lebih tepat ke artikel pendek. Bukan kategori berita.

Sayangnya, beberapa gambar penunjang di sana ukurannya tidak terlalu besar. Kemudian ditambah lagi ketika dimasukkan ke dalam topik, gambar jadi semakin terpadatkan. Semakin kecil atau buram. Ada foto di sana yang juga hasil tangkapan layar, sebagaimananya juga di sini. :sweat_smile:

Strategi%20Bahasa%20Indonesia%20Setelah%20Sumpah%20Pemuda%201928-b

Setidaknya ada beberapa pelajaran bagaimana cara agar bahasa Indonesia bisa diterima pada saat itu. Khususnya di pemerintahan. Pada saat itu bahasa Belanda yang dipakai atau bahasa resmi di pemerintahan. Kalau disingkat, caranya melalui diplomasi. Semacam tarik-ulur dan negosiasi cantik agar bahasa Indonesia bisa diterima para penjabat Belanda pada saat itu. Hasilnya, sekarang bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu bangsa Indonesia.

Beberapa nama tokoh sejarah yang ada dalam artikel pendek ini adalah:

  1. Muh Yamin
  2. Tabrani
  3. Sanusi Pane
  4. Achmad Djajadiningrat
  5. Jahja Datoek Kajo
  6. Husni Thamrin
  7. Abdoel Moeis

Kalau dilihat, sebagian besar nama-nama itu adalah nama-nama pahlawan Indonesia yang diabadikan sebagai nama jalan besar di kota-kota Indonesia. Untuk nama tempat ada namanya Gemeenteraad van Batavia atau Dewan Kota Cirebon.

Asal Mula Bahasa Indonesia Adalah dari Bahasa Melayu Pasar

Ternyata dari zaman dahulu kala, bahasa melayu sudah ada beberapa jenis. Menariknya, bahasa melayu yang dipilih adalah bahasa melayu pasaran. Bahasa yang banyak dipakai oleh masyarakat luas pada saat itu.

Taktik Tabrani Pakai Bahasa Indonesia di Dewan Kota Batavia

Kamis 28 Feb 2019 11:46 WIB
Rep: Priyantono Oemar/ Red: Karta Raharja Ucu

https://static.republika.co.id/uploads/images/inpicture_slide/kongres-pemuda-1926-_190228114417-782.jpg
Tabrani dinilai berhasil memperjuangkan pemakaian bahasa Indonesia di Dewan Kota

Tabrani dan kaum nasionalis Indonesia dinilai koran Belanda berhasil memperjuangkan pemakaian bahasa Indonesia di Gemeenteraad van Batavia.

Selama 1939, Gemeenteraad van Cheribon (Dewan Kota Cirebon) menghalangi-halangi keinginan penggunaan bahasa Indonesia di sidang-sidang Gemeenteraad. Bataviaasch Nieuwsblad edisi 20 Desember 1939 menyinggung saran pemerintah kota mengenai perlunya membolehkan penggunaan bahasa Indonesia, khusus untuk anggota yang tidak menguasai bahasa Belanda.

Keinginan penggunaan bahasa Indonesia di sidang-sidang dewan kota Cirebon ini menjadi contoh telah meluasnya keinginan pemakaian bahasa Indonesia. Di Batavia, desakan diizinkannya pemakaian bahasa Indonesia di Gemeenteraad van Batavia diajukan oleh Husni Thamrin dan M Tabrani.

Fraksi Vaderlandsche Club menentangnya. Fraksi ini bahkan mengajukan aturan agar bahasa yang boleh digunakan hanya bahasa Belanda dan melarang penggunaan bahasa Indonesia/Melayu.

Ketegangan di awal tahun 1939 itu ditengahi Thamrin dengan berjanji akan menggunakan bahasa Belanda jika pimpinan menginginkannya. Seperti dilaporkan Bataviaasch Nieuwsblad edisi 4 Januari 1939, Thamrin menolak pemberlakuan secara hukum pelarangan penggunaan bahasa Indonesia dan pewajiban menggunakan bahasa Belanda. Jika bahasa Belanda diwajibkan melalui peraturan tertulis, Thamrin dan Tabrani mengancam mengundurkan diri.

Strategi%20Bahasa%20Indonesia%20Setelah%20Sumpah%20Pemuda%201928%20b
https://static.republika.co.id/uploads/images/inline/190228094052-385.jpg
Koran Bataviaasch Nieuwsblad memuat laporan perjuangan penggunaan bahasa Indonesia di Dewan Kota Batavia di halaman satu edisi 4 Januari 1939. (Foto tangkapan layar)

Sepuluh bulan kemudian, Tabrani meminta izin lagi dibolehkan menggunakan bahasa Indonesia, di saat Thamrin absen mengikuti sidang pembahasan anggaran 1940, 18 Desember 1939. “Dengan demikian, janji dilanggar tadi malam,” tulis koran malam Bataviaasch Nieuwsblad edisi 19 Desember 1939.

“Pak Thamrin tidak ada di sana, dan karenanya Pak Tabrani sebagai pemimpin Parindra diberi tugas menjelaskan permintaan menggunakan bahasa Melayu,” lanjut Bataviaasch Nieuwsblad.

“Apa itu bahasa Indonesia?” tanya Ketua Dewan seperti dikutip Het Nieuws van Den Dag voor Nederlandsch-Indie edisi 19 Desember 1939.

“Bahasa Melayu,” jawab Tabrani.

“Bahasa Melayu yang mana?” tanya Ketua Dewan.

“Bahasa Melayu sederhana,” jawab Tabrani.

Bahasa Melayu sederhana yang dimaksud Tabrani adalah Melayu pasar yang selama ini telah dipakai oleh orang-orang non-Melayu Riau. Cohen dari Fraksi Vaderlandsche Club menailai permintaan Tabrani ini sangat berlebihan. Cohen mengingatkan janji awal tahun untuk menggunakan bahasa Belanda.

Jika pemakaian bahasa Indonesia dimunculkan kembali, Vaderlandsche Club mengancam akan memunculkan kembali pengaturan tertulis pewajiban pemakaian bahasa Belanda. Ketua sidang pun mengatakan pemakaian bahasa Indonesia tidak praktis, karena terjemahan singkat dalam bahasa Belanda tidak memadai untuk memahami keseluruhan perkataan yang disampaikan dalam bahasa Indonesia.

Tabrani menolak tuduhan pengingkaran janji di awal tahun. Kali ini ia mengajukan pemakaian bahasa Indonesia karena tuntutan perkembangan bahasa Indonesia yang semakin meluas pemakaiannya dalam 10 bulan terakhir.

Ketua Dewan dan Fraksi Vaderlandsche Club mengakui mereka memiliki hak berbicara dalam bahasa Indonesia. “Kami percaya, itulah yang dimaksud Tuan Thamrin dan Tuan Tabrani ketika mereka mengatakan 10 bulan lalu bahwa akan menggunakan bahasa Belanda jika diminta,” tulis Bataviaasch Nieuwsblad edisi 20 Desember 1939 di bawah judul “Bahasa yang Tidak Ada” (De taal die niet bestaat). Koran ini menilai usaha Tabrani dan kaum nasionalis Indonesia berhasil.

Di Volksraad, tuntutan pemakaian bahasa Indonesia juga menggema untuk menghormati hasil Kongres Bahasa Indonesia di Solo. Di Kongres Bahasa Indonesia di Solo pada Juni 1938, Tabrani melangkah cukup jauh untuk pengembangan bahasa Indonesia. Melalui artikel Taal en Politiek (Bahasa dan Politik), De Indische Courant edisi 6 Juli 1938 menyebut Tabrani bahkan mengusulkan agar penguasaan bahasa Indonesia dijadikan syarat pengangkatan pejabat dan pegawai.

Ia juga mengusulkan agar surat-menyurat lembaga pemerintah menggunakan bahasa Indonesia. Ia juga mengusulkan agar bahasa Indonesia digunakan di lembaga perwakilan dari Gemeenteraad hingga Volksraad.

Ia juga mengusulkan agar pemerintah membentuk lembaga bahasa Indonesia yang bertugas menjalankan usulan-usulan di atas. De Indische Courant pun memberikan catatan khusus kepadanya: “Pembicara kedua, yang kata-katanya di kongres bahasa Indonesia di Solo layak mendapat perhatian khusus, adalah politisi pribumi terkenal Muh Tabrani.”

Trio bintang di kongres bahasa itu adalah Muh Yamin, Tabrani, dan Sanusi Pane. Yamin bicara soal bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan kebudayaan dan Sanusi bicara tentang lembaga bahasa yang ia beri nama Institut Bahasa Indonesia.

“Pidato dari trio ini memiliki cap politik yang kuat, lebih kuat: mereka harus, khususnya yang dari penyair, diberi label sebagai anti-Belanda,” tulis De Indische Courant. Meski belum tahu pasti ke mana arah perkembangan “gerakan bahasa” ini, tetapi De Indische Courant berani mengatakan pidato dari trio bintang kongres bahasa ini akan memiliki pengaruh luas.

https://static.republika.co.id/uploads/images/inline/190228094202-566.jpg
Laporan tentang perjuangan penggunanaan bahasa Indonesia di Dewan Kota Batavia juga dimuat koran Soerabaijasch Handelsblad edisi 5 Januari 1939.

Keinginan pemakaian bahasa Indonesia sebenarnya di Volksraad telah muncul pada 1935. Algemeen Handelsblad pada 29 Juni 1938 menyebutkan adanya anggota Volksraad yang menggunakan bahasa Indonesia (Algemeen Handelsblad masih menyebutnya sebagai bahasa Melayu), dan tak ada keberatan secara konstitusional.

Ditarik jauh ke Belakang usul pemakaian bahasa Melayu sudah muncul begitu Volksraad didirikan pada akhir 1916. Achmad Djajadiningrat mengajukan proposal untuk itu. Di sidang pembahasan anggaran 1939, sembilan anggota Volksraad menggunakan bahasa Indonesia. Salah satunya Jahja Datoek Kajo yang rutin menggunakannya.

Husni Thamrin dicatat secara khusus oleh Provinciale Overijsselsche en Zwolsche Courant edisi 1 Agustus 1938 karena kekonyolannya. Meski sehari-hari menggunakan bahasa Melayu-Betawi, Thamrin harus menuliskan pidatonya dalam bahasa Belanda, baru kemudian ia terjemahkan ke bahasa Indonesia ketika hendak disampaikan di sidang Volksraad.

Tentang perdebatan perlunya pemakaian bahasa Indonesia di Volksraad, Abdoel Moeis memberikan gambaran sulitnya berbahasa Belanda di forum Volksraad sebagai bagian dari usaha mendapat izin di tahun-tahun awal Volksraad berdiri. “Ini juga berlaku untuk saya. Ketika sampai di situ, saya mungkin juga lebih suka menggunakan bahasa Melayu,” kata Abdoel Moeis seperti dikutip De Sumatra Post edisi 18 Juni 1918.

Sumber: https://republika.co.id/berita/selarung/suluh/pnmd8v282/taktik-tabrani-pakai-bahasa-indonesia-di-dewan-kota-batavia-part1 dan https://republika.co.id/berita/selarung/suluh/pnmd8v282/taktik-tabrani-pakai-bahasa-indonesia-di-dewan-kota-batavia

Sejarah bahasa Indonesia ini terjadi pada tahun 1938. Sepuluh tahun setelah Sumpah Pemuda 1928 dalam acara Kongres Bahasa Indonesia di Solo pada Juni 1938. Artinya, memang tidak mudah proses penetrasi bahasa Indonesia. Perlu cara dan strategi yang jitu dari orang-orang yang cerdas bernegosiasi dan intelektual. Terlebih lagi pada saat itu zaman penjajahan.

Berdasarkan artikel pendek diatas, strategi bahasa Indonesia untuk bisa ‘menggantikan’ bahasa Belanda sebagai bahasa resmi pada saat itu adalah:

  1. Memasukkan ide pemakaian bahasa Indonesia ketika pembicara tidak bisa bahasa Belanda.
  2. Meminta izin pemakaian bahasa Indonesia di Dewan Kota. Kalau sekarang mungkin DPRD.
  3. Meminta izin untuk berpidato menggunakan bahasa melayu saat sidang.
  4. Mengusulkan memakai bahasa Indonesia dalam surat menyurat.
  5. Mengusulkan membentuk lembaga bahasa Indonesia.

Pelajaran lain, ketika sebuah bahasa sudah mulai diterima di kalangan pemerintahan atau penguasa pada saat itu, maka secara otomatis bahasa itu menyebar di masyarakat umum.

Contohnya saja kata unicorn atau unikorn yang sempat naik daun saat acara debat II calon presiden RI 2019 bulan Februari 2019 lalu.