FEATURE: Kisah Maling Beras Saat Pandemi Covid-19
Oleh: Novfel Purnama Sari
Surakarta, 19 April 2020
( Sumber: google.com )
Surakarta - Wajah itu terlihat begitu muram kala melihat matahari mulai terbit. Pikirannya selalu penuh ketika hari berganti, ingin makan apa hari ini? Jangankan memikirkan keinginan untuk makan apa, sesendok nasi pun dia belum ada untuk disajikan. Dulu saat Indonesia masih tentram, belum ada pandemi seperti sekarang, pria tua itu akan selalu pulang membawa seplastik makanan walaupun hanya berisi krupuk. Sekarang? Pria tua dengan nama lawas Dimejo itu hanya bisa terduduk lemas mengawasi pergerakan orang-orang dibalik jendela usang rumahnya. Aturan pemerintah setempat seakan mengekang ia untuk kembali mengais rupiah, tidak boleh keluar rumah, harus di rumah saja, baginya tidak masalah kalau itu untuk rakyat besar yang penghasilannya hampir 10 juta sebulan, tapi untuk dirinya yang rakyat kecil begini bisa apa?
Dimejo warga miskin yang terdaftar di salah satu kelurahan di Surakarta, namun anehnya dia tidak pernah sekalipun mendapat bantuan baik itu berupa sembako ataupun uang tunai. Banyak tetangga yang menanyakan hal itu, namun lagi-lagi jawaban Dimejo membungkam semua pertanyaan warga, “Data kami kurang lengkap, KTP saja belum diperbarui.” Begitu ia dengan santainya berucap. Sudah hampir setengah abad ia tinggal di kontrakan kecil yang terletak di perbatasan kota, selama itu pula ia dan keluarga yang terdiri dari 5 orang itu menggantungkan hidup pada hasil peluh Dimejo membangun berpuluh-puluh bangunan, singkatnya ia bekerja sebagai buruh bangunan. Tidak sekalipun Dimejo berpikir untuk menjadi orang jahat demi mendapatkan sesuap nasi, namun kebijakan pemerintah yang memberlakukan PSBB seakan mendorong ia untuk bertindak nekat.
Malam itu hujan deras melanda hampir seluruh bagian Kota Surakarta. Dimejo meringkuk nyaman di bawah selimut tipis sebelum jemari kecil anaknya yang masih sekolah dasar itu menepuk pipinya beberapa kali. Saat membuka mata ia melihat anaknya berdiri dengan wajah pucat berkeringat, ia lantas membangunkan sang istri untuk segera mengecek keadaan sang anak. Setelah beberapa kali ditanya akhirnya putri bungsu Dimejo mengaku bahwa ia kelaparan dan ingin makan nasi karena tadi sore ia hanya memakan singkong rebus. Istrinya lari ke arah dapur guna mengecek apakah masih ada beras tertinggal untuk dimasak, tapi naas tidak ada beras sama sekali hingga membuat satu keluarga itu merasa kebingungan, mereka lapar tapi keadaan tidak mengizinkan mereka untuk keluar bekerja dengan layak.
Malam itu Dimejo bernekat untuk keluar rumah, entah pekerjaan apa yang bisa ia lakukan di tengah malam seperti ini. Di luar hanya terdengar suara kentongan yang saling sahut menyahut karena memang di masa pandemi ini banyak maling berkeliaran akibat dari kebijakan pemerintah untuk mengeluarkan sebagian napi. Dia terus menyusuri jalan setapak di daerah kampungnya sembari memikirkan apa yang harus dia lakukan untuk menyumpal perut lapar anaknya. Lalu matanya tertuju pada pintu belakang rumah tetangganya, niat hanya ingin lewat tapi kemudian tergoda oleh tumpukan beras di samping pintu. Entah keberanian darimana namun saat itu Dimejo nekat untuk mengambil seplastik beras yang terpampang di depannya, ia langsung berlari namun naas suara kentongan berbunyi sangat keras dan saat itu juga ia tertangkap.
“Hahaha, saya kapok mbak, untung tetangga sendiri jadi bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Lain kali saya tidak akan seperti itu lagi, badan saya sakit semua kena pukul.” Sedikit terkekeh ketika Dimejo menceritakan kisah lamanya. “Pokoknya selama pandemi ini saya tidak akan aneh-aneh lagi, apalagi maling beras, mending saya ngutang di warung saja.” Dan seperti itulah kisah Dimejo, pekerja serabutan yang merangkap jadi maling beras saat pandemi covid-19, namun ia mengaku kapok dan tidak akan mengulangi perbuatannya.