Topik ini diangkat dari berita lama. Berita tanggal 28 Februari 2018. Berita setahun yang lalu. Berita ini tidak sengaja dibaca waktu berkeliling untuk membuat topik sebelumnya. Topik Mungkinkah Generasi Milenial Memperjuangkan Bahasa Indonesia Menjadi Bahasa Internasional Ke-7?.
Berita ini juga ketemu di salah satu komentar Facebook. Ada di kanan bawah gambar ini. Fotonya dalam bentuk koran cetak. Lalu keliling lagi di dunia maya. Berhasil dapat berita lengkapnya dalam bentuk koran cetak tampilan digital.
Awalnya ingin ditaruh di kategori Berita. Cuma sepertinya menarik kalau dijadikan topik pembahasan.
Warga Yogya Anggap Rumit Bahasa Jawa
28 Februari 2018/12 Jumadil Akhir 1439 No. 2486/Tahun 6
Liputan Khusus Tribun JogjaOrangtua Lebih Pilih Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Tutur Harian
YOGYA, TRIBUN - Bahasa Jawa saat ini dikhawatirkan semakin ditinggalkan oleh penutur aslinya. Pasalnya, pola penggunaan bahasa Indonesia kepada anak-anak di lingkungan rumah adalah pemicu utama terpinggirkannya bahasa Jawa. Padahal, kedua orangtua sang anak adalah orang Jawa, yang menggunakan bahasa tutur dengan pasangan juga dengan bahasa Jawa.
Maria Aditya, adalah satu di antaranya. Dia mengakui menggunakan bahasa Indonesia untuk komunikasi dengan anaknya yang baru berumur 2,5 tahun. Menurutnya, bahasa Indonesia lebih mudah digunakan.
Meskipun warga asli Yogyakarta, ia mengaku tidak fasih berbahasa Jawa, terutama krama inggil. Ia menilai bahasa Indonesia lebih berguna suatu saat nanti ketika anaknya memasuki bangku sekolah. “Pakai bahasa Indonesia karena lebih mudah. Ibunya aja nggak paham bahasa Jawa masak mau ngajarin,” kata Maria kepada Tribun Jogja, tempo hari.
Ia menilai bahasa Indonesia lebih berguna saat anaknya sekolah. “Ya, besok kan kalau sekolah lebih mudah. Lagipula bahasa Indonesia bahasa nasional, jadi dia bisa berkomunikasi dengan siapa saja,” lanjutnya.
“Pakai bahasa Indonesia karena lebih mudah, sih. Ibunya aja nggak paham bahasa Jawa masak mau ngajarin. Lagipula bahasa Indonesia bahasa nasional, jadi dia bisa berkomunikasi dengan siapa saja”
Maria Aditya
WargaMeski begitu, Maria tetap mengajarkan tentang unggah-ungguh dan tata krama Jawa kepada sang anak. “Ya, tetap diajarin. Misalnya kalau pamit bilang sampun sambil membungkukkan badan. Lalu, mangga pinarak (kalau) ada yang lewat,” ucapnya.
Agnes Novitasari (39), juga lebih banyak berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia dengan kedua anaknya. Meskipun, kadang-kadang juga dicampur dengan bahasa Jawa ngoko. Ia mengatakan bahasa Jawa krama inggil susah, sehingga sulit untuk mengajarkan kepada buah hati. “Ya, diajarin tapi ya campur. Misalnya, mbah uti baru sare atau mbah uti baru dhahar,” ucap Agnes.
Ia mengatakan, menggunakan dan mempelajari bahasa Jawa rumit, karena ada tingkatannya.Namun, dia menyadari jika menggunakan bahasa Jawa sebenarnya membuat anak bicara lebih halus. Melalui bahasa Jawa, anak juga bisa belajar menghargai orang lain.
“Bagus sebenarnya bahasa Jawa tu, anak kan jadi tahu bagaimana dia ngomong sama (orang) yang lebih tua. Kan bahasanya beda antara yang lebih tua dan teman sebaya,” lanjutnya.
Andreas Arso (11) mengakui belajar bahasa Jawa cukup rumit. Ia sendiri lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia saat berkomunikasi, meski dia berasal dari Yogyakarta.
“Kalau di sekolah pakai bahasa Indonesia. Kalau di rumah kadang pakai bahasa Jawa kalau (berkomunikasi) sama teman-teman. Bahasa Jawa susah soalnya,” tutur Arso.
Pertahankan identitas
“Buk, kae lo digoleki,” teriak anak itu memanggil ibunya, sembari tiduran memainkan telepon seluler di tangan. Ia adalah Adestian Awang, siswa kelas 5 SD Tridadi, Sleman. Sehari-hari dia berbicara menggunakan bahasa Jawa ngoko. “Penak basa Jawa ngoko. Nek basa krama ra iso,” kata anak 11 tahun itu polos kepada Tribun Jogja.
Haryati (37), ibunya, mengatakan, sejak kecil sang anak memang berbicara dengan bahasa Jawa ngoko. Meski demikian, ia juga tetap mengajarkan tata krama pun unggah-ungguh adat Jawa.
“Kalau anak-anak susah diajari krama inggil. Paling, ya cuma nggih, matur nuwun, atau sampun kalau pamit,” jelas Haryati.
Ibu dua anak itu mengatakan bahasa Jawa lebih mudah digunakan, karena merupakan bahasa sehari-hari. Namun, ia jarang mempergunakan bahasa Jawa krama. “Ya, tetep ngoko, kalau krama inggil Awang dapat pelajaran di sekolah,” ujar Haryati.
Awang sendiri mengaku belajar bahasa Jawa tidak mudah dan membingungkan. “Ah, bingung nek krama. Angel, mbingungi, marakke sirahe sariawan,” katanya kemudian tersenyum.
Mempertahankan identitas juga nilai-nilai sebagai orang Jawa adalah satu alasan mengapa bahasa Jawa dipertahankan terus digunakan keluarga Redy Swandono. Tak hanya bahasa Jawa ngoko, tapi juga krama inggil.
“Masa di rumah pakai bahasa Indonesia. Anak biar tahu, asal mula keluarganya itu dari Jawa. Di sekolah kan hampir pasti pakai bahasa Indonesia, kapan anakku paham bahasa Jawa kalau tidak di rumah,” ujar Redy, yang anaknya sejak umur dua tahun bersekolah di pendidikan anak usia dini (PAUD) ini.
Meski begitu, dia mengaku cukup kewalahan memberikan pemahaman bahasa Jawa kepada anaknya. Satu sebabnya adalah lingkungan di sekitarnya banyak anak yang menggunakan bahasa Indonesia untuk bertutur sehari-hari. Itu semua berasal dari keluarga masingmasing, kemudian dibawa ke pola komunikasi dengan teman-teman di luar rumah.
“Pergeseran itu sudah nyata, bagaimana banyak orang Jawa yang berbicara pakai bahasa Indonesia. Tapi, gimana juga aku harus mengajarkan bahasa Jawa. Seperti aku dulu diajari ngomong pakai bahasa Jawa krama ke orang-orang tua oleh bapak ibu,” ujar mantan mahasiswa UGM ini. (cr2/hdy)
Berita lengkap ambil dari berkas https://issuu.com/tribunjogja/docs/tribunjogja-28-02-2018
dan https://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:W78q1mQLWVsJ:https://issuu.com/tribunjogja/docs/tribunjogja-28-02-2018+&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id&client=opera
Saya sendiri tidak bisa bahasa Jawa. Bukan pula penutur aslinya. Cuma kalau di rumah orang tua, bahasa yang dipakai adalah bahasa Jambi. Orang tua yang kebetulan asli minang, pakai bahasa Padang. Jadilah anaknya bisa mengerti juga bahasa Padang, meski belum fasih betul bahasa Padang. Tepatnya bahasa Cimbua, Gobah, Sungai Puar atau Bukit Tinggi.