Kemarin melihat kiriman menarik di linimasa Facebook. Saudara yang jarang buat status di Facebook tiba-tiba membagikan kembali sebuah status di Facebook yang menarik.
Isinya bercerita tentang seorang mahasiswa yang masa kuliah untuk mendapatkan gelar sarjana lebih dari 15 tahun. 15 tahun itu adalah masa KKN. Belum termasuk masa studinya.
Puisi Mahasiswa yang Kuliah Selama 15 Tahun (1964-1979)
Kalau dulu namanya KKN atau Kuliah Kerja Nyata. Semacam program pengabdian masyarakat bagi para calon sarjana di akhir perkuliahan. Kalau sekarang mungkin namanya PKL atau Praktik Kerja Nyata. Masa PKL juga biasanya tiga bulan atau mungkin enam bulan.
Mahasiswa ini dari Aceh, kuliah di IPB Bogor, dan 15 tahun KKN di Maluku.
Puisi Taufiq Ismail 1979
Puisi karangan sastrawan terkenal dari Taufiq Ismail ini cukup panjang. Di sumber pertama, puisinya hanya beberapa baris. Lalu setelah dicoba ditelusuri lagi ternyata panjang.
Ada empat bait dalam puisi yang menceritakan seorang sosok mahasiswa yang sangat insipiratif ini.
Syair untuk Seorang Petani dari Waimital, Pulau Seram, yang pada hari ini pulang ke Almamaternya
I
Dia mahasiswa tingkat terakhir
ketika di tahun 1964 pergi ke pulau Seram
untuk tugas membina masyarakat tani di sana.
Dia menghilang
15 tahun lamanya.
Orangtuanya di Langsa
memintanya pulang.
IPB memanggilnya
untuk merampungkan studinya,
tapi semua
sia-sia.II
Dia di Waimital jadi petani
Dia menyemai benih padi
Orang-orang menyemai benih padi
Dia membenamkan pupuk di bumi
Orang-orang membenamkan pupuk di bumi
Dia menggariskan strategi irigasi
Dia menakar klimatologi hujan
Orang-orang menampung curah hujan
Dia membesarkan anak cengkeh
Orang kampung panen raya kebun cengkeh
Dia mengukur cuaca musim kemarau
Orang-orang jadi waspada makna bencana kemarau
Dia meransum gizi sapi Bali
Orang-orang menggemukkan sapi Bali
Dia memasang fondasi tiang lokal sekolah
Orang-orang memasang dinding dan atapnya
Dia mengukir alfabet dan mengamplas angka-angka
Anak desa jadi membaca dan menyerap matematika
Dia merobohkan kolom gaji dan karir birokrasiKasim Arifin, di Waimital
Jadi petani.III
Dia berkaus oblong
Dia bersandal jepit
Dia berjalan kaki
20 kilometer sehari
Sesudah meriksa padi
Dan tata palawija
Sawah dan ladang
Orang-orang desa
Dia melintas hutan
Dia menyeberang sungai
Terasa kelepak elang
Bunyi serangga siang
Sengangar tengah hari
Cericit tikus bumi
Teduh pohonan rimba
Siang makan sagu
Air sungai jernih
Minum dan wudhukmu
Bayang-bayang miring
Siul burung tekukur
Bunga alang-alang
Luka-luka kaki
Angin sore-sore
Mandi gebyar-gebyur
Simak suara azan
Jamaah menggesek bumi
Anak petani diajarnya
Logika dan matematika
Lampu petromaks bergoyang
Angin malam menggoyang
Kasim merebah badan
Di pelupuh bambu
Tidur tidak berkasur.IV
Dia berdiri memandang ladang-ladang
Yang ditebas dari hutan rimba
Di kakinya terjepit sepasang sandal
Yang dipakainya sepanjang Waimital
Ada bukit-bukit yang dulu lama kering
Awan tergantung di atasnya
Mengacungkan tinju kemarau yang panjang
Ada bukit-bukit yang kini basah
Dengan wana sapuan yang indah
Sepanjang mata memandang
Dan perladangan yang sangat panjang
Kini telah gembur, air pun berpacu-pacu
Dengan sepotong tongkat besar, tiga tahun lamanya
Bersama puluhan transmigran
Ditusuk-tusuknya tanah kering kerontang
Dan air pun berpacu-pacu
Delapan kilometer panjangnya
Tanpa mesin-mesin, tiada anggaran belanja
Mengairi tanah 300 hektar luasnya
Kulihat potret dirimu, Sim, berdiri di situ
Muhammad Kasim Arifin, di sana,
Berdiri memandang ladang-ladang
Yang telah dikupasnya dari hutan rimba
Kini sekawanan sapi Bali mengibas-ngibaskan ekor
Di padang rumput itu
Rumput gajah yang gemuk-gemuk
Sayur-sayuran yang subur-subur
Awan tergantung di atas pulau Seram
Dikepung lautan biru yang amat cantiknya
Dari pulau itu, dia telah pulang
Dia yang dikabarkan hilang
Lima belas tahun lamanya
Di Waimital Kasim mencetak harapan
Di kota kita mencetak keluhan
(Aku jadi ingat masa kita diplonco
Dua puluh dua tahun yang lalu)
Dan kemarin, di tepi kali Ciliwung aku berkaca
Kulihat mukaku yang keruh dan leherku yang berdasi
Kuludahi bayanganku di air itu karena rasa maluku
Ketika aku mengingatmu, Sim
Di Waimital engkau mencetak harapan
Di kota, kami …
Padahal awan yang tergantung di atas Waimital, adalah
Awan yang tergantung di atas kota juga
Kau kini telah pulang
Kami memelukmu.1979
Kalau yang biasa buat puisi, pasti paham kalau puisi ini sangat bagus sekali. Selain panjang, makna puisi ini juga mendalam sekali. Belum lagi banyak cerita dan informasi yang bisa didapatkan dari sini. Ada banyak kosakata yang muncul dalam puisi ini.
Tidak salah kalau Pak Taufiq Ismail dinobatkan sebagai sastrawan terkenal Indonesia.
Muhammad Kasim Arifin
Sebenarnya, yang menarik dari puisi ini adalah latar belakang ceritanya. Puisi karangan Pak Taufiq Ismail ini tidak akan tercipta kalau tidak ada cerita dibaliknya.
Puisi ini bukan cerita khayalan dan bukan cerita fiktif. Puisi ini adalah kisah nyata dan cerita nyata dari orang yang bernama Muhammad Kasim Arifin. Sebuah cerita inspiratif yang memang layak dibagikan ulang.
Sebuah cerita yang menggambarkan kuatnya ideologi seorang mahasiswa.
Dia masih menjadi mahasiswa IPB saat menghilang lima belas tahun silam di Pulau Seram, Maluku, Dia kembali ke kota hanya dengan sandal jepit dan baju lusuh. Tapi, dia disambut bak seorang pahlawan yang baru saja kembali dari medan laga. Dia dielu- elukan segenap penjuru.
Kisahnya menitikkan haru. Dia diabadikan dalam puisi. Dia seperti sungai yang tak henti mengalirkan inspirasi.
Hari itu, 22 September 1979 di Hotel Salak, Bogor. Lelaki berkulit legam itu dikelilingi teman-temannya. Dia hanya mengenakan sandal jepit. Temannya membawakan sepatu dan jas untuknya. Dia menolak memakainya. Namun, temannya bersikeras. Lelaki itu, Muhammad Kasim Arifin, serupa anak yang hilang. Dia yang lahir di Langsa. Aceh, 18 April 1938 itu adalah mahasiswa yang kembali setelah 15 tahun.
Teman- temannya sudah lama sarjana dan banyak yang sudah menjadi pejabat. Kasim hanya seorang petani yang bersahaja. Tapi dia Justru jauh menjulang dibandingkan semua orang.
Tahun 1964, dia hanya seorang mahasiswa biasa yang mengikuti Program Pengerahan Mahasiswa, yang sekarang bernama Kuliah Kerja Nyata.
Di masa itu, mahasiswa harus siap ditempatkan di pelosok negeri. Kasim mendapat lokasi di Waimital, Pulau Seram, Maluku.
Dia pun mendatangi daerah terpencil itu sebab didorong hasrat untuk membumikan semua pengetahuannya. Di Waimital, dia bertemu keluarga petani miskin yang datang melalui program transmigrasi.
Nuraninya terketuk. Dia ingin berbuat sesuatu. Dia menanggalkan semua identitas kota pada dirinya. Dia memakai sandal jepit dan baju lusuh. Dia ikut menemani petani yang berjalan kaki 20 kilometer menuju sawah. Dia melakukannya setiap hari dan bolak-balik. Dia membantu petani untuk mengolah tanah. Diajarkannya pengetahuan yang didapatnya di kampus IPB.
Dia membantu masyarakat untuk membuka jalan desa, membangun sawah baru, membuat irigasi. Dia tidak menunggu bantuan dari pemerintah. Dia membangkitkan semangat masyarakat untuk bergotong-royong.
Kasim peduli pada petani lebih dari dirinya sendiri. Dia pun mendapat kasih sayang dari semua orang.
Dia disapa Antua, sebutan bagi orang yang dihormati di Waimital. Kasim begitu larut untuk membantu masyarakat, sampai-sampai dia lupa pulang. Seharusnya dia di Waimital hanya tiga bulan. Tapi dia merasa tugasnya belum selesai. Bahkan saat semua teman-temannya pulang, dia tetap menjadi petani. Bahkan semua temannya telah diwisuda, dia masih setia di kampung itu. Hingga semua temannya lulus dan menjadi pejabat, dia tetap memilih di kampung itu hingga 15 tahun.
Di Aceh, orang tuanya memanggil. Dia bergeming. Bahkan Rektor IPB, Profesor Andi Hakim Nasution, memanggilnya kembali, dia masih juga bergeming. Tak kurang akal, Rektor IPB lalu mengutus Saleh Widodo, seorang teman kuliah ?asim, untuk menjemputnya di sana. Dengan berat hati, Kasim bersedia ke Jakarta, lalu Bogor, hanya dengan sandal jepit dan baju lusuh.
Kampus memanggilnya untuk menyelesaikan studi. Kasim sejatinya tak butuh gelar akademik, tapi dia tak kuasa menolak permintaan teman-temannya. Dia mengaku tidak sanggup membuat skripsi.
Teman-temannya berinisiatif untuk merekam kisahnya di Waimital untuk diajukan sebagai skripsi. Dia bercerita selama 28 jam. Temannya mencatat cerita itu dengan mata basah. Semua terharu. Kasim adalah potret manusia yang melampaui dirinya. Dia bukan seperti kebanyakan orang yang hanya berpikir untuk kuliah lalu bekerja, mengumpul harta, kemudian hidup bahagia.
Dia menemukan bahagianya dengan cara lain. Saat dia melihat petani tersenyum, hatinya mekar. Selagi senyum itu belum hadir, dia akan menganggap tugasnya jauh dari kata selesai. Dia lebur bersama masyarakat. Mulanya dia datang sebagai Kasim, mahasiswa IPB yang penuh pengetahuan. Setelah 15 tahun, dia menjadi bagian dari masyarakat.
Dia tak lagi ingin sesegera mungkin lulus, kemudian menyandang toga dan bekerja di instansi pemerintahan. Dia ingin membantu semua petani untuk sejahtera melalui tindakan memuliakan bumi, menghargai lumpur, lalu mengolah tanah-tanah pertanian. Dia mencintai tunas yang tumbuh lalu mekar jadi tanaman.
Hari itu, Kasim memasuki gedung IPB untuk wisuda. Mulanya dia ragu-ragu dan takut melihat banyak orang berdatangan, Semalaman dia tak bisa tidur di Hotel Salak karena pendingin udara dan suara bising di jalanan.
Di acara wisuda, dia ingin duduk di kursi belakang. Namun begitu dia datang, semua orang berdiri dan bertepuk tangan. Dedikasinya membuat banyak orang merinding. Dia adalah insinyur pertanian paling istimewa, paling menyentuh hati, dan paling menjulang dibandingkan yang lain.
Lelaki muda itu tetap Kasim yang bersahaja. Bahkan setelah wisuda pun, dia kembali ke Waimital demi meneruskan kerja-kerjanya. Setelah beberapa waktu, barulah dia menerima pinangan Universitas Syiah Kuala, Aceh, untuk menjádi dosen di sana hingga pensiun pada tahun 1994. Di Waimital, namanya selalu harum, bahkan diabadikan menjadi nama jalan.
Di tahun 1982, Kasim mendapatkan penghargaan Kalpataru dari pemerintah untuk jasa-jasanya membangun masyarakat desa déngan wawasan lingkungan hidup. Kasim yang tidak gila pada penghargaan, “membuang” kalpataru itu di bawah kursi dan eninggalkannya begitu saja, hingga akhirnya seseorang mengantarkan kalpataru itu ke rumahnya. Bahkan penghargaan pun bukan menjadí tujuannya.
Ketika mendapat tawaran untuk study banding ke Amerika serikat, dia menolak. “Untuk apa saya harus ke Amerika yang punya tradisi pertanian berbeda dengan disini?” Katanya.
Dia selalu menjadi Kasim yang menginspirasi. Kisah hidupnya ditulis ke dalam buku berjudul Seorang lelaki dari Waimital yang ditulis Hanna Rambe di tahun 1983, dan diterbitkan Sinar Harapan.
Seusai pensiun, dia tetap di Aceh dan menjadi aktivis lingkungan. Di masa kini, betapa sulitnya menemukan anak muda yang masih idealis seperti dirinya. Anak muda hari ini berlomba-lomba untuk masuk dunia bisnis, mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, lalu masuk ke lingkaran istana, entah sebagai staf milenial atau sebagai staf menteri. Bahkan para akademisi muda bermimpi jadi dirjen, staf khusus menteri, atau jadi pejabat di BUMN.
Kasim adalah oase yang serupa mata air selalu menjadi telaga inspirasi yang tak mengering.
Saat dia diwisuda di tahun 1979, salah seorang rekannya penyair Taufiq Ismail, menulis puisi yang mengharukan tentang Kasim.
Salah satu baitnya berbunyi:
Dari pulau itu, dia telah pulang
Dia yang dikabarkan hilang
Lima belas tahun lamanya
Di Waimital, Kasim mencetak harapan
Di kota kita mencetak keluhan
(Aku iadi ingat masa kita diplonco dua puluh tahun lalu)
Dan kemarin, di tepi kali Ciliwung aku berkaca
Kulihat mukaku yang keruh dan leherku yang berdasi
Kuludahi bayanganku di air itu karena rasa maluku
Ketika aku mengingatmu, Sim
Di Waimital engkau mencetak harapan
Di kota, kami…
Padahal awan yang tergantung di atas Waimital, adalah
Awan yang tergantung di atas kota juga
Kau kini telah pulang
Kami memelukmu.
Legenda Para Petani dan Sarjana Pertanian
Kalau saya pribadi, tidak salah menyebutkan kalau Bapak Muhammad Kasim Arifin adalah seorang legenda. Baik itu dari sisi mahasiswa atau sifat kemanusiaannya.
Mau kuliah S1 sampai 15 tahun?
Bayangkan saja, zaman sekarang mana ada masa kuliah sarjana atau strata satu sampai 15 tahun. Paling juga maksimal tujuh tahun. Belum lagi soal KKN atau PKL. Kampusnya ada di IPB, Bogor, Jawa Barat, tapi penempatan KKN di Maluku. Lalu tidak pulang-pulang sampai 15 tahun, sampai-sampai disebut sebagai “orang hilang”. Lebih lama dari lagu “Bang Toyib”.
Kuliah Zaman Baheula < 90-an
Kalau dilihat berdasarkan kondisi zaman itu, kuliah lama adalah hal yang biasa. Zaman dahulu kala, mahasiswa yang lulus dalam waktu empat atau lima tahun adalah sesuatu yang langka dan ajaib. Kebanyakan lulus di atas lima tahun.
Barulah setelah tahun 2000-an, tren kuliah menjadi lebih cepat.
Sumber:
- Pertama kali menemukan tulisan ini di Facebook
Lukman Nurhakim - https://www.facebook.com/photo/?fbid=3736097936427856&set=a.592207714150243
termasuk sumber foto atau gambar yang warnanya hitam-putih ada foto orangnya itu dari sana juga. Tautan fotohttps://scontent.fbdo9-1.fna.fbcdn.net/v/t1.0-9/145222899_3736097939761189_7886548359212371072_n.jpg?_nc_cat=111&ccb=2&_nc_sid=8bfeb9&_nc_ohc=Q5hvDu_3HVoAX-Ss-Fp&_nc_ht=scontent.fbdo9-1.fna&oh=8f9372ad3c4d1f83c2a5d218a82d0232&oe=60445AE5
. Mungkin itu foto Muhammad Kasim Arifin. Entahlah. - Sumber puisi utuh yang terdiri dari empat bait dari kiriman oleh Mafrikhul.bio, “Syair untuk Seorang Petani dari Waimital, Pulau Seram, yang pada hari ini pulang ke Almamaternya”
http://mafrikhul.bio.staff.ipb.ac.id/2013/10/07/syair-m-kasim/
- Cerita tentang Muhammad Kasim Arifin diambil dari SIPP Kemenpan RB berjudul “Kisah Haru Mahasiswa IPB Yang Hilang”
https://sipp.menpan.go.id/news/detail/dinas-pertanian-tanaman-pangan-dan-hortilkultura/kisah-haru-mahasiswa-ipb-yang-hilang
atauhttp://www.timur-angin.com/2020/06/kisah-haru-mahasiswa-yang-menghilang.html
- Tulisan lain yang senada dan diterbitkan dari 2008
https://sagoeleuser5.wordpress.com/2008/12/19/muhammad-kasim-arifin-sosok-ideal-mahasiswa/
atau versi 2013https://lldikti12.ristekdikti.go.id/2013/11/09/mengenang-mohamad-kasim-arifin-panutan-mahasiswa-sepanjang-hayat.html
- Referensi lain puisi Taufiq Ismail
http://taufiqismail.com/malu-aku-jadi-orang-indonesia/kembalikan-indonesia-padaku/243-syair-untuk-seorang-petani-dari-waimital-pulau-seram-yang-pada-hari-ini-pulang-ke-almamaternya
tapi webnya sudah tidak ada. - Gambar sampul buku “Hanna Rambe: Seorang Lelaki di Waitamal” dari
Yusran Darmawan, http://www.timur-angin.com/2020/06/kisah-haru-mahasiswa-yang-menghilang.html
atauhttps://1.bp.blogspot.com/-mehIIe7tap0/XvEGXUUFCFI/AAAAAAAAt-k/iVFePk0Me6oEPp5drdBc_-Hj6fxlsxRmgCLcBGAsYHQ/s640/6186369_e7202203-2ce9-474f-887a-ea78e30eb9db_1224_1224.jpg