Oleh : Rizky Apryanti
Klaten, 23 Oktober 2020
(Sumber ilustrasi gambar : dokumentasi penulis)
KLATEN - Menurut sebuah penelitian dalam jurnal Raudhah, 30% pelaku pelecehan anak adalah keluarga dan 60% merupakan orang yang berada di lingkungan anak. Bentuk dari pelecehan terhadap anak seperti menggunakan anak sebagai rangsangan dan memaksa anak bersanggama.
Menurut Risa Fitri dan M. Alias, pendidikan kesehatan reproduksi merupakan upaya pengajaran, penyadaran, dan pemberian informasi tentang masalah reproduksi. Informasi yang diberikan di antaranya pengetahuan tentang fungsi organ reproduksi dengan menanamkan moral.
Pada saat ini pendidikan kesehatan reproduksi masih dianggap sebagi hal yang tabu bagi orang tua.
“Saya kurang tau apa itu (pendidikan kesehatan reproduksi), di sekolah anak saya juga tidak diajarkan hal semacam itu”, papar ibu rumah tangga yang mempunyai 3 orang anak (9/10/2020).
Padahal pendidikan kesehatan reproduksi sangat penting sebagai pelindung anak. Pendidikan kesehatan reproduksi juga mencegah dari adanya pelecehan, pemerkosaan, aborsi, serta penyakit alat reproduksi. Menurut jurnal Raudhah, dampak dari pelecehan untuk anak antara lain trauma, stres, cedera dan infeksi.
Mengajarkan pendidikan kesehatan reproduksi kepada anak bukan berarti mengajarkan soal berhubungan badan. Pengajaran pendidikan kesehatan reproduksi tentunya harus disesuaikan dengan perkembangan anak dan norma.
Maka dari itu, orang tua dapat mengajarkan pendidikan kesehatan reproduksi pada anak dengan 1) menumbuhkan keberanian anak dalam menolak dan melaporkan ancaman tindakan kekerasan; 2) memberikan pakaian yang tertutup dan sopan; 3) memperkenalkan fungsi organ intim dan privasi kepada anak; 4) mengajarkan nilai-nilai agama; 5) jalin komunikasi kepada anak. Dalam menjelaskan orang tua diharapkan memilik waktu yang tepat serta menggunakan bahasa yang mudah dipahami anak dan sesuai dengan kemampuan berpikirnya.