Cerita ini diambil dari dw.com
versi bahasa Indonesia. Menarik dan panjang ceritanya. Namanya bapak Marhadi Drinnenberg. Kalau melihat nama depannya, sepertinya nama Indonesia, tapi kalau nama belakangnya sepertinya bukan.
Beliau adalah seorang guru bahasa Indonesia di Jerman. Tepatnya di Rumah Budaya Indonesia di Kota Berlin bagian selatan, Jerman. Selain mengajar bahasa Indonesia, budaya Indonesia juga diperkenalkan.
Menariknya lagi, kursus untuk belajar bahasa Indonesia di Jerman gratis, di Rumah Budaya Indonesia. Dapat subsidi dari Kemendikbud Indonesia.
Versi kisah bapak Marhadi, ternyata orang Jerman kesulitan belajar bahasa Indonesia dalam hal logika bahasa Indonesia. Contohnya mencari akar kata bahasa Indonesia. Contohnya saja saat murid mencari kata “menyuruh” di kamus. Tentu di kamus tidak ada kata yang berawalan “menyuruh”, yang ada kata “suruh”.
Mengajar Bahasa Indonesia di Jerman sebagai Bentuk Sumbangsih
Tanggal 20.09.2019
Penulis Anggatira Gollmer
Permalink:https://p.dw.com/p/3PvIO
Marhadi Drinnenberg mengajar Bahasa Indonesia di kursus yang terbuka untuk umum di Berlin. Murid-muridnya beragam, dari mahasiswa sampai pensiunan. Ia ingin agar Bahasa Indonesia semakin dikenal di manca negara.
Dua kali seminggu, Marhadi Drinnenberg, datang ke Rumah Budaya Indonesia di selatan kota Berlin. Sejak awal tahun 2018 lelaki berusia 61 tahun ini bekerja sebagai guru Bahasa Indonesia bagi penutur asing. Kelas hari Rabu ditujukan untuk pemula, kelas hari Kamis untuk tingkat lanjutan.
Ketika memulai kisah bagaimana akhirnya mengajar Bahasa Indonesia bagi penutur asing di Jerman, Marhadi mengatakan, “saya ini adalah apa yang dalam Bahasa Jerman disebut Quereinsteigern.” Ini adalah kata yang kerap digunakan bagi orang-orang yang berganti profesi ke bidang baru, tanpa proses pelatihan konvensional.
Menjalani berbagai profesi
Lahir dan besar di Jakarta, pada tahun 1980-an Marhadi mulai berkuliah sastra Prancis di Universitas Indonesia. Tapi keinginan besar untuk mandiri dari orang tua membuatnya berhenti kuliah dan bekerja di bidang perhotelan. Dengan adanya kesempatan menyambi kuliah di Universitas Terbuka, Marhadi akhirnya berhasil lulus dari Fakultas Keguruan jurusan Bahasa Inggris.
Selama bertahun-tahun Marhadi menimba berbagai pengalaman bekerja, antara lain sebagai asisten koordinator proyek dalam Program Pembangunan PBB, mengajar Bahasa Inggris secara privat dan memberikan pelatihan staf hotel. Pada tahun 1995, ia mendapat tawaran untuk mengajar Bahasa Indonesia bagi murid-murid British International School BIS di Jakarta, yang ketika itu masih terbuka untuk anak-anak asing saja. Disana Marhadi mengajar murid-murid kelas 7 sampai kelas 13.
Tidak hanya mengajar Bahasa Indonesia, tidak lama setelah memulai pekerjaan, Marhadi diangkat menjadi pimpinan departemen Indonesia dan bertanggung jawab untuk memperkenalkan Indonesia sebagai negara tuan rumah murid-murid asing ini. Untuk itu ia antara lain mengajarkan sejarah, geografi dan pancasila di BIS.
Pada tahun 2013 Marhadi ikut dengan pasangannya pindah ke Jerman dan sejak itu tinggal di Berlin.
Mengajar bahasa dan memperkenalkan budaya
“Selamat sore,” sapa Marhadi dengan hangat ketika masuk kelas. “Selamat sore. Apa kabar?” jawab Claudia, salah satu peserta kursus. Claudia dan pasangannya berencana pergi ke Indonesia bulan Oktober ini dan mereka sudah belajar Bahasa Indonesia dengan Marhadi sejak awal tahun.
Berawal dari kebetulan menggantikan seorang guru yang berhalangan untuk memberikan kursus mini Bahasa Indonesia di sebuah pameran bahasa, Marhadi sejak tahun 2018 mengajar dua kursus di Rumah Budaya Indonesia. Kursus-kursus ini dibiayai oleh Kemendikbud Indonesia dan karena itu bisa diikuti secara cuma-cuma oleh peserta. Setiap pertemuan berlangsung selama tiga jam dan dalam satu kuartal ada enam sesi.
Banyak peserta kursus sudah pernah ke Indonesia dan ingin bisa lebih banyak mengerti dan bercakap-cakap pada kunjungan berikut. Tidak sedikit murid yang sudah berusia lanjut dan sudah pensiun dari pekerjaannya. Banyak dari mereka ingin bernostalgia tentang masa-masa kunjungan di Indonesia.
Selain menggunakan buku pelajaran ‘Sahabatku Indonesia’ yang diperuntukkan Kemendikbud untuk penutur asing Bahasa Indonesia, Marhadi juga sering menyisipkan bahan-bahan yang ia temukan dari berbagai media online serta menggunakan foto-foto sebagai bahan peraga agar murid-muridnya kreatif berbicara menggambarkan apa yang mereka lihat.
“Saya di kursus juga tidak hanya mengajar bahasa tapi ada juga budaya, sejarah, ilmu bumi dari perspektif bidang wisata seperti berbagai tempat di Indonesia dengan makanannya, pakaiannya, apa yang mereka lakukan, seperti upacara potong gigi di Bali,” cerita Marhadi.
Ia juga mengajarkan sikap-sikap yang di Indonesia harus dihindari, seperti memberikan sesuatu dengan tangan kiri atau memegang kepala orang. “Ini jangan sekali-sekali dilakukan karena orang Indonesia akan marah. Mungkin di luar senyum-senyum tetapi di hatinya marah dan mereka bisa memendam itu menjadi kebencian,” jelas Marhadi. Menanggapi komentar muridnya yang menganggap sikap seperti itu tidak benar, Marhadi berkata: “ Jangan bilang tidak benar, karena inilah yang dibilang budaya.”
Beragam tantangan dalam proses mengajar
Menepis anggapan banyak orang asing yang beranggapan, Bahasa Indonesia adalah bahasa mudah, menurut Marhadi, selayaknya bahasa-bahasa lain, sebuah bahasa tampak mudah jika dipelajari dalam tingkat permukaan saja.
Banyak murid-murid Jermannya mempunyai kesulitan untuk memahami logika Bahasa Indonesia, terutama kalau sudah masuk ke anak kalimat, jelas Marhadi. Cara bertanya yang dalam Bahasa Indonesia cukup beragam, kalimat pasif dan mencari akar dari kata-kata yang mereka baca atau dengar, juga merupakan tantangan tersendiri bagi orang asing yang belajar Bahasa Indonesia.
“Saya mencari kata menari di kamus dan tidak ketemu,” cerita Marhadi tentang keluhan muridnya. “Iya kamu tidak akan mungkin mendapatkannya kecuali kalau tahu apa akar katanya, yaitu tari,” jawab guru Bahasa Indonesia ini. “Tapi kenapa jadi N? Ini aturannya tidak logis,” keluh muridnya lebih lanjut.
Bagi Marhadi sendiri, mengajar di kursus yang terbuka untuk umum dan tidak dipungut biaya juga memiliki tantangan tersendiri. Beberapa murid tidak serius berkomitmen dan menganggap sepele kursusnya. Ada yang di awal kursus sudah minta izin tidak masuk, atau bahkan masuk semaunya saja. ada juga yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan.
“Selama mereka tidak mengganggu yang lain karena tidak mengerti, misalnya, saya tidak apa-apa. Kalau mengganggu, saya tidak suka.” ujar Marhadi. “Metode saya adalah, biarkan saja di antara mereka yang saling memarahi daripada saya. Atau saya bilang, kalian kan sudah saya buatkan grup email, saling bertanya dong di kelas ngapain saja,” lanjutnya sambil menjelaskan bahwa orang Eropa memang lebih individualis daripada orang Indonesia sehingga kontak antar murid lebih jarang terjadi.
Sumbangsih sebagai orang Indonesia.
“Kegiatan ini adalah sumbangsih saya sebagai orang Indonesia. Walaupun gimana saya adalah orang Indonesia. Tapi saya nggak perlu menyumbang membangun sekolah atau mengajar di kampung-kampung,” ujar Marhadi. “Saya kira kita masing-masing punya tugas untuk Indonesia dan mengangkat Indonesia sebagai salah satu unsur yang benar-benar penting dalam kehidupan kita,” lanjutnya.
Kebahagiaan sebagai guru Bahasa Indonesia bagi penutur asing bagi Marhadi datang setiap kali ia melihat murid-muridnya mulai saling berbincang menggunakan Bahasa Indonesia. Ia juga senang jika mendapatkan email dari murid-muridnya dalam Bahasa Indonesia. Walaupun mungkin mereka memakai bantuan kamus, Marhadi tetap sangat menghargai upaya mereka. Dan pada saat-saat seperti itu Marhadi merasa tujuannya sudah tercapai, yaitu bahwa murid-muridnya berbahasa Indonesia.
Sumber: https://www.dw.com/id/mengajar-bahasa-indonesia-di-jerman-sebagai-bentuk-sumbangsih/a-50507456
Dulu pernah belajar bahasa Jerman. Kesulitannya, ada perbedaan cara penulisan. Antara yang diucapkan dengan yang ditulis. Belum lagi ada beberapa aksara atau tulisan bahasa jerman yang penulisannya bukan seperti huruf latin.