Padahal dua hari lagi adalah Hari Penerjemah Internasional yang kedua, 30 September 2019. Lalu di sini, pembahasannya tidak ada uang. Tidak ada duit.
Kebetulan di grup penerjemah ada yang membagikan sebuah tautan. Baru malam ini tautan itu dibuka dan dibaca. Ternyata, ada cerita dari seorang Profesor. Profesor Penerjemah. Nama beliau Harry Aveling. Asalnya dari Australia. Kelahiran Sydney.
Prof. Harry Aveling
Pada saat bercerita soal ini, usia beliah sudah 77 tahun. Kalau sudah punya gelar profesor, tentu pendidikannya akademisnya sudah mentok. Sudah melewati sarjana, master, dan doktor.
Eyang Harry Aveling menguasai beberapa bahasa. Tentu saja bahasa Inggris adalah bahasa bawaan saat lahir. Bahasa yang dikuasai:
- Bahasa Indonesia
- Bahasa Malaysia
- Bahasa Prancis
- Bahasa Hindi
Pengalaman menerjemah beliau sudah 50 tahun. Luar biasa sekali itu.
Kenapa Hasil Terjemahan yang Ditunjukkan Adalah Karya Puisi?
Dalam wawancara yang dilakukan ABC Indoensia abc.net.au/news/indonesian/
, Profesor Harry menunjukkan dua buah buku. Buku puisi bahasa Indonesia yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Bagi orang awam tentu saja alasannya “pamer karya terjemahan” ini tidak diketahui. Tapi bagi penerjemah bahasa paham betul. Tingkat terjemahan karya sastra seperti puisi, memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Bahkan tertinggi menurut saya. Beda dengan proses terjemahan dokumen hukum.
Alasan kedua kenapa hanya menunjukkan buku puisi, karena tidak mungkin beliau memamerkan hasil terjemahan dokumen rahasia. Yang bagi sebagian orang awam yang membutuhkan jasa penerjemah, bisa meningkatkan rasa percaya diri saat menentukan proses pembelian. Jarang sekali penerjemah pamer hasil materi-materi penting. Tidak boleh.
Beda dengan buku. Malah hasil terjemahan buku sebaiknya ditunjukkan dan dipublikasi. Itu alasannya kenapa beliau memilih menunjukkan buku dibandingkan menyebutkan klien beliau.
Saya yakin, beliau sudah banyak menerjemahkan materi-materi penting. Jadi saat wawancara, beliau hanya menunjukkan hal-hal yang biasa saja. Bahasa kerennya, low profile.
Sarkasme Jadi Penerjemah Bahasa atau Translator Tidak Banyak Uang
Saya menafsirkannya begitu. Sindiran halus tapi tajam ini ditujukan untuk para penganut aliran “Google Translate”. Mereka yang menganggap Google Translate bisa menerjemahkan semua makna kata. Lalu menganggap, jika sudah ada Google Terjemahan, jasa translate sudah tidak diperlukan lagi.
Lebih parahnya lagi, lantaran ada mesin penerjemah Google, hal ini berimbas dari biaya terjemahan yang bisa ditekan sesadis-sadisnya.
Belum lagi ketika menyinggung soal Kecerdasan Buatan atau Artificial Intelligent (AI) dan Mesin Penerjemah atau Machine Translation (MT).
Tentu saja sindiran tajam ini tidak dipahami bagi mereka yang tidak paham proses terjemahan itu sendiri. Sama halnya mereka yang tidak paham teori dan praktik dalam proses terjemahan puisi. Jika diminta menerjemahkan puisi, maka kata-kata penolakan pasti keluar. Suulittt menerjemahkan puisi itu. Pantun, syair, atau yang sejenis itu.
Ada banyak pelajaran yang bisa diambil dari artikel hasil wawancara ABC Indonesia dengan Prof.Harry Aveling. Artikel lengkapnya, semuanya ditaruh di sini. Kecuali foto dan video.
Harry Aveling Profesor Penerjemah dari Australia Yang Cinta Sastra Indonesia
Oleh: Natasya Salim
Posted 16 August 2019 at 1:19 pmSudah lebih dari setengah abad lamanya pria kelahiran Sydney, Australia bernama Harry Aveling menerjemahkan teks sastra Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Inggris untuk dibaca oleh orang Australia.
Setengah abad terjemahkan teks Indonesia
- Harry Aveling kenalkan sastra Indonesia ke Australia lewat terjemahan
- Ia tertarik kepada Bahasa Indonesia karena ‘berani’
- Jadi penerjemah punya banyak teman walau sedikit uang
Di usianya yang ke-77, Harry juga sudah menerjemahkan ratusan karya sastra dari Bahasa Malaysia, Prancis serta membantu menerjemahkan teks dari Bahasa Hindi.
Kecintaannya pada dunia penerjemahan tumbuh seiring dengan keinginannya memperkenalkan karya sastra Indonesia kepada pembaca Australia di tahun 1960.
“Waktu itu tidak banyak teks yang diterjemahkan dari Bahasa Indonesia. Semua yang sudah diterjemahkan hanya mengkritik pemerintah masyarakat Indonesia,” jawab Harry dalam percakapan dalam bahasa Indonesia ketika ditemui wartawan ABC Natasya Salim di Melbourne minggu lalu.
“Saya mau menerjemahkan sastra yang lebih baik kualitasnya untuk masyarakat Australia yang waktu itu belum tahu begitu banyak tentang Indonesia melalui puisi dan novel.”
Kini, berkas daftar riwayat hidup Harry yang berlembar-lembar jumlahnya sudah diwarnai oleh judul-judul terjemahan karya sastra Indonesia miliknya.
Selain menjadi penerjemah, Harry saat ini juga adalah pembimbing mahasiswa Studi Indonesia di Fakultas Literatur, Bahasa, Budaya dan Linguistik Universitas Monash.
Pengalamannya bertahun-tahun mengajar bahasa di universitas Australia, Indonesia dan Malaysia serta gelar Magister Studi Malaysia dari Universitas Sydney menjadi penopang karir yang sekarang ia jalani.
Beberapa penghargaan seperti Penghargaan Anugerah Pengembangan Sastera (1991), Penghargaan Literatur Khatulistiwa untuk Puisi (2006) dan lainnya juga menandakan keahliannya dalam dunia sastra Indonesia.
Di antara banyaknya novel, puisi serta teks lainnya yang sudah ia terjemahkan, buku puisi berjudul “Kill the Radio” (Radio Kumatikan) karya Dorothea Rosa Herliany menjadi salah satu favoritnya.
“Tulisan yang paling berkesan adalah ‘Kill the Radio’. Dorothea [yang menulis] adalah penulis wanita yang sangat berani dan jujur dalam tulisannya.”
Hingga kini, Harry masih berhubungan baik dengan Dorothea yang tinggal di Bali.
Bahasa Indonesia sangat berani
Setiap bahasa memang memiliki keunikan masing-masing, namun menurut Harry, Bahasa Indonesia adalah bahasa yang paling maju.
“Sastra Indonesia lebih maju dibandingkan sastra Malaysia karena jumlah penduduk negaranya jauh lebih banyak,” kata Harry ketika ditemuinya di kampus Monash University Clayton.
“Sampai pertengahan abad lalu yang menulis sastra Melayu adalah guru-guru sekolah, sedangkan yang menulis sastra Indonesia adalah lulusan universitas.”
Menurutnya, latar belakang penulis yang berbeda ini mempengaruhi tingkat keberanian mereka untuk berpendapat lewat tulisan.
“Dalam menulis orang Indonesia lebih bebas. Ibaratnya ‘setuju atau tidak, tidak apalah’, kalau menurut pendapat saya. Sedangkan kalau Melayu lebih hati-hati.”
Selama puluhan tahun Harry sudah menerjemahkan karya sastra dari Bahasa Indonesia, Malaysia, dan Prancis di Vietnam.
Daya tarik Bahasa Indonesia semakin menjadi di mata Harry melihat potensi berkembangnya.
Contoh perkembangan yang tampak saat ini adalah penggunaan slang, khususnya di kalangan remaja Indonesia.
“Bahasa Indonesia adalah bahasa yang hidup dan berkembang. Tapi jangan harap saya paham yang sudah berkembang sekarang karena sudah tua.” jawabnya sembari tertawa.
Harry dapat melihat dengan jelas perbedaan Bahasa Indonesia dengan Bahasa Inggris sebagai bahasa ibu yang ia gunakan selama tumbuh di Australia.
“Sastra Indonesia sangat menarik. Pribadi dan tulisannya bagus sekali. Sikap pemandangan terhadap dunia pun sedikit berbeda dengan orang Australia.”
Tantangan selama 50 tahun
Suka duka seorang penerjemah sudah Harry alami selama lebih dari 50 tahun berkecimpung dalam dunia menerjemahkan karya sastra.
Salah satu tantangan yang Harry hadapi adalah kewajiban memahami budaya dari teks yang ia terjemahkan.
“Untuk menerjemahkan, kita harus mempelajari budaya di balik teks tersebut dengan baik. Misalnya, tentang budaya bersembahyang,” kata Harry .
“Atau tentang panggilan ‘ayahanda’. Kadang-kadang susah tahu kalau kata itu berarti ayah kandung atau hanya bentuk sopan santun.”
Tantangan ini ia hadapi ketika menerjemahkan teks penulis berbahasa Jawa seperti Umar Kayam dan Arifin C. Noer di tengah keterbatasan alat bantu.
HarryAveling lulus dari Universitas Sydney tahun 1962 dan mempelajari tiga mata kuliah yaitu Sastra Inggris, Sejarah dan Bahasa Indonesia.
“Mereka menulis dalam Bahasa Indonesia tapi bercampur dengan Bahasa Jawa. Sedangkan dulu tidak ada kamus Bahasa Jawa yang lengkap.”
Di samping itu, perbedaan minat bacaan dari orang Indonesia dengan orang Australia juga sering jadi perkara bagi dirinya.
“Ada tulisan yang sentimental sekali yang disenangi orang Indonesia tapi orang Australia tidak tertarik,” kata Harry.
“Ini berarti ada tulisan yang mudah diterjemahkan dan ada tulisan yang sama sekali tidak bisa diterjemahkan.”
“Uang tidak ada tapi banyak teman”
Tidak dapat dipungkiri, penghasilan seorang penerjemah atau pun penulis lebih rendah dari pendapatan pekerjaan lain pada umumnya.
Sadar akan hal ini, Harry tetap merasa senang karena mendapatkan banyak teman dari pekerjaan tersebut.
“Menjadi seorang penerjemah itu menyenangkan. Dapat banyak teman. Uang tidak ada, tapi banyak teman.”
Menariknya, penghasilan uang yang ia dapatkan justru sering ia berikan kepada teman penulisnya di Indonesia.
“Kalau mendapat uang dalam rupiah jumlahnya tidak banyak dalam dollar Australia. Jadi lebih baik saya berikan kepada teman penulis di Indonesia.”
Harry mengatakan bahwa seorang penerjemah harus kuat menerima kritik dari pembaca.
Hingga kini, Harry Aveling (tengah) masih menjalin hubungan baik dengan teman dan penulis favoritnya Dorothea
Pelajaran ini ia dapatkan dari pengalamannya menerjemahkan buku Melayu yang menuai banyak kritik dari tahun 1970 hingga sekarang.
"Buku yang paling banyak dikritik tersebut di Malaysia. Namanya ‘Selena’. Buku ini isinya berputar-putar terus sampai tebalnya 500 halaman," kata Harry.
“Lama-lama orang bosan membacanya. Akhirnya saya potong supaya lebih lancar dan lebih menarik menjadi 300 halaman.”
Ia mengatakan bahwa kritik akan selalu menjadi bagian dari profesi seorang penerjemah.
“Dukanya penerjemah selalu dikritik oleh pembaca. Kalau terjemahannya literal, ada yang tidak suka. Terjemahannya bebas pun masih ada yang tidak suka.”
Karenanya, ia lebih memilih untuk tidak menghiraukan kritik dari pembaca.
“Jadi saya sukanya berpikir ‘Ah, saya tidak peduli. Menerjemahkan saja’ karena sudah tahu akan dikritik sebagian orang. Apa boleh buat?” kata Prof Harry Aveling.
Buat saya sebagai penerjemah pemula, ada banyak pelajaran yang saya ambil dari cerita/wawancara dengan Prof. Harry.
Teori dan Pelajaran Terjemahan Bahasa Prof. Harry Aveling
Tentu saja beliau sudah berhak membuat teori terjemahan. Sebutan praktisi, akademisi, dan Professor, sudah tidak bisa diganggu gugat. Sesuai pendapat beliau, maka teorinya:
- Tidak mudah mendapatkan uang banyak jika menjadi penerjemah bahasa
- Fokuslah pada kualitas hasil terjemahan. Meski masyarakat awam, tidak tahu bagaimana sulitnya proses terjemahan itu.Apalagi uangnya.
- Menerjemahkan buku puisi itu sulit. Jadi kalau ada penerjemah yang piawai menerjemahkan karya sastra, ia adalah penerjemah yang hebat.
- Faktor jumlah penduduk atau penutur bahasa menjadi salah satu faktor penting perkembangan/dominasi bahasa tersebut.
- Saat menerjemah, perlu sebuah keberanian. Hanya penerjemah bahasa yang paham ini. Jika dijelaskan, bisa panjang nanti.
- Bahasa slang atau bahasa gaul kekinian, wajib diketahui oleh seorang penerjemah.
- Latar belakang pendidikan sangat memengaruhi keberanian ekspresi untuk sebuah karya sastra.
- Memahami budaya teks sumber, sudah wajib dipahami saat proses terjemahan.
- Konsumen hasil terjemahan sangat memengaruhi, banyaknya karya yang akan diterjemahkan. Faktor kesukaan.
- Mau gaya terjemahan literal atau terjemahan bebas/idiomatik, tetap saja kena kritik pembaca. Dalam hal terjemahan karya sastra.
- Penerjemah jangan takut memangkas hasil terjemahan. Dari 500 halaman menjadi 300 halaman.
Terima kasih Prof. Harry Aveling atas pelajaran singkat yang buat saya sangat bermanfaat sekali.
Sumber:
- Artikel dari ABC Indonesia
https://www.abc.net.au/indonesian/2019-08-16/harry-aveling-penerjemah-australia-yang-cinta-sastra-indonesia/11422162
- Lihat video wawancara dengan Prof. Harry Aveling di
https://www.abc.net.au/indonesian/2019-08-16/harry-aveling-penerjemah-australia-yang-cinta-sastra-indonesia/11422162?jwsource=cl