Dilema Pedagang Kaki Lima (PKL) Pasar Bitingan Terimpit Pandemi Covid-19

Oleh : Mutiara Anggun
Kudus, 5 Juni 2020

WhatsApp Image 2020-06-12 at 19.25.27
Sejumlah pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan di area Pasar Bitingan Kudus nampak sepi pembeli sejak pemberlakuan jam untuk berdagang akibat pandemi Covid-19.
(Sumber: dokumentasi penulis)

KUDUS- Covid-19 tidak hanya berdampak pada sektor kesehatan saja, tetapi juga berdampak pada sektor perekonomian di Indonesia. Hal tersebut dirasakan oleh sejumlah pedagang kaki lima (PKL) di Pasar Bitingan Kudus yang mengalami penurunan pendapatan akibat adanya peraturan yang membatasi aktivitas untuk berdagang di pasar. Para pedagang mengaku kecewa terhadap keputusan pemerintah yang memberlakukan peraturan pembatasan jam untuk berjualan di sekitar area pasar.

Atun (31), salah seorang pedagang kaki lima (PKL) di pasar Bitingan mengaku kecewa terhadap keputusan pemerintah karena jam pemberlakuan untuk berdagang hanya berlaku pada pukul 4 sore hingga 8 malam saja. Wajahnya terlihat sangat kecewa saat ditemui ketika ia sedang menggelar lapak dagangan untuk berjualan. Sesaat setelah petugas Satpol PP datang untuk menegur para pedagang kaki lima yang sama-sama berjualan di sekitar area pasar. “Kami tidak bisa membayangkan jika hanya beberapa jam saja kami boleh berjualan disini, kami dapat apa?”, kata Atun.

Pemberlakuan peraturan untuk mengurangi penyebaran pandemi Covid-19 mulai diterapkan sejak awal bulan April. Peraturan tersebut berdampak pada waktu berjualan para pedagang kaki lima yang berjualan di sekitar area Pekojan dan sejumlah pasar, salah satunya Pasar Bitingan. Pemberlakuan waktu ini dilakukan demi mengurangi kerumunan yang dikhawatirkan terjadi di sejumlah ruang publik. Keputusan pemerintah untuk mengurangi penyebaran pandemi Covid-19 tersebut memang dirasa cukup efektif, tetapi di sisi lain keputusan tersebut memiliki sejumlah dampak kurang menguntungkan bagi sejumlah orang dengan kemampuan ekonomi kelas bawah seperti para pedagang kaki lima.

Keputusan pemerintah dinilai tidak memihak perekonomian para pedagang kaki lima. Sejumlah pedagang menginginkan pertimbangan lagi terhadap keputusan yang telah dibuat tersebut. Pemerintah harus melakukan revisi ulang sehingga kebijakan yang dibuat tidak merugikan sejumlah masyarakat menengah ke bawah layaknya para pedagang kaki lima (PKL).

“Saya tidak bisa membayangkan jika hanya 5 jam saya boleh menjajakkan dagangan, maka hanya berapa banyak kami mendapatkan keuntungan!. Mereka tidak berpikir sejauh itu!”, ujar Atun berapi-api.

Atun berusaha memadamkan amarahnya sesaat setelah itu. Mukanya yang memerah lama kelamaan berubah karena ia berusaha meredakan emosi. Kemudian setelah itu ia mengalihkan topik pembicaraan yang semula membicarakan terkait kebijakan pemerintah menjadi persoalan ekonomi yang harus ia hadapi. Atun memiliki tiga anak yang harus dia urus sendiri karena suaminya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Dia berusaha menghidupi keluarganya dengan menjajakkan nasi tahu, makanan khas Kudus di Pasar Bitingan.

Hidup sebagai single parent dengan hanya berdagang makanan di pasar tidak menjamin semua kebutuhan hidup bisa terpenuhi dengan baik. Dia mengaku pasrah terhadap apapun keputusan pemerintah, meskipun hal tersebut dirasa tidak berpihak kepada orang kecil seperti dia. Walaupun hanya mendapatkan keuntungan sedikit karena pembatasan waktu berjualan, ia mengaku berharap dengan keuntungan sedikit tersebut ia tetap bisa memberi makan anak-anaknya di rumah.

Para pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan di sekitar area pasar sudah berusaha menaati peraturan yang ada. Mereka hanya bisa pasrah meskipun hanya mendapatkan sedikit keuntungan dari hasil berjualan karena adanya pemberlakuan jam. Mereka tidak tahu sampai kapan pemberlakuan ini akan diterapkan. “Saya berharap pandemi Covid-19 ini segera berakhir sehingga kami bisa berjualan seperti hari normal sebelumnya”, tutur Atun.

36 Suka